|
Tugu Terminal Ciboleger
|
Pada 21 Mei 2021, saya
dan kawan berkesempatan untuk mengunjungi desa atau suku adat yang berada di
Lebak, Banten yaitu suku adat Baduy. Kami hanya menjangkau Baduy Luar saja
tidak sampai ke Baduy Dalam karena keterbatasan waktu yang kami miliki lantaran
salah satu di antara kami harus menuju Bandung lusa harinya. Maka dari itu kami
pun bermalam satu hari saja di salah satu rumah warga yang entah bagaimana
kebetulan bertemu dengan kami di dalam Elf ketika hendak menuju Terminal
Ciboleger yaitu tempat terakhir sebelum ke Baduy (yang selanjutnya akan saya
ceritakan).
Kami berangkat dari
Sukabumi sekitar pukul 5 pagi. Kami berangkat masing-masing dari rumah sebelum
bertemu di depan stasiun Parungkuda. Tidak, kami tidak akan naik kereta. Hanya
kebetulan saja tempat kami berjanji memang di sana.
Dari stasiun itu kami
menunggu Kolmini jurusan Sukabumi-Bogor di mana tujuan kami adalah menuju
terminal Baranangsiang untuk mencari bus menuju Rangkasbitung. Kami berangkat
dengan kolmini menuju Bogor sekitar pukul 6.45 pagi saat cuaca masih
segar-segarnya. Ongkos kolmini Sukabumi-Bogor yaitu 25 ribu rupiah. Meskipun
pada awalnya sang sopir mengamini bahwa dia akan menurunkan kami di terminal
Baranangsiang, namun nyatanya tidak. Kami diturunkan di suatu tempat yang saya
lupa namanya. Namun sebelum melaju, sopir kolmini itu pun memberitahu kami
harus menaiki angkot 01 menuju terminal Baranangsiang. Kami pun mengikuti saran
sopir itu dan akhirnya kami tiba di terminal Baranangsiang. Ongkos angkotnya hanya
5 ribu rupiah perorang.
Kami tiba di terminal
Baranangsiang sekitar pukul 8 lebih dan di situ sudah ada bus jurusan
Bogor-Rangkasbitung sedang mengetem (menunggu penumpang penuh). Rekan saya
bertanya pada sopir bus akan berangkat jam berapa, sang sopir pun menjawab
pukul setengah 9 akan langsung berangkat. Nyatanya tidak, kami baru berangkat
jam setengah 10 lebih. Kebiasaan orang
Indonesia.
Singkat cerita, kami
tiba di terminal Mandala pukul 1 siang lebih. Ketika di bus tadi, salah satu di
antara kami bertanya untuk menuju terminal Aweh harus menaiki apa. Ia menawari
dua pilihan yaitu antara menaiki angkot (dua kali) atau ojek pangkalan langsung
sampai ke terminal Aweh. Kami pun memilih untuk menaiki ojek untuk
mempersingkat waktu. Meskipun kami sudah menawar harga, namun akhirnya kami
hanya bisa setuju di harga 20 ribu rupiah menuju terminal Aweh yang langsung
diantarkan ke Elf yang hendak berangkat menuju Terminal Ciboleger, tempat
terakhir sebelum menuju Baduy.
|
Kondisi dalam Elf yang cukup kosong
|
Saat di dalam Elf saya
bertemu dengan dua pria yang belum saya kenal. Mereka berdua bertanya kepada
saya akan ke mana karena kawan saya sedang ke toilet umum. Saya pun menjawab
akan ke Ciboleger dan barangtentu mereka akan langsung menebak bahwa saya akan
ke Baduy. Saya pun mengamini bahwa tujuan saya memang akan ke Baduy. Salah satu
dari mereka pun memperkenalkan diri bahwa ia adalah warga Baduy asli tepatnya
di Baduy Luar. Ia pun menawari kami untuk menginap di rumahnya karena kalau
akan menyusuri Baduy di waktu itu terlalu kemalaman (Elf baru berangkat sekitar
jam setengah 2 dan perjalanan menuju Terminal Ciboleger kurang lebih 2 jam).
Awalnya saya tidak
begitu percaya karena takut ditipu dan takut mereka merupakan oknum calo karena
beberapa hari lalu ketika saya riset tentang perjalanan ke Baduy dan bertanya
pada teman saya yang ada di Banten yang pernah ke Baduy bahwa ketika sampai di
Terminal Ciboleger akan ada banyak calo yang berkeliaran mencari mangsa. Kalau
saya pikir-pikir karena waktu itu kami masih di dalam Elf tepatnya di Terminal
Aweh, saya rasa para calo tidak akan capek-capek mencari mangsa ke tempat yang
jauh. Dan ketika saya melihat gelang di tangan mereka dan kain berwarna biru
khas Baduy melekat di badannya, saya pun mulai berpikir bahwa mereka adalah
warga Baduy asli. Dan juga mereka memang berbicara dengan ramah-tamah sama
sekali tidak mencurigakan. Tanpa pikir panjang kami pun menyetujui untuk
menginap di rumah akang yang bernama Kang Mista itu. Kebetulan saat itu Kang
Mista sedang mengantar kakaknya Kang Arman yang baru saja mengalami musibah.
Meskipun pada awalnya
Kang Mista menyebut akan menghabiskan waktu dua jam untuk menuju Terminal
Ciboleger, namun sebelum jam 3 sore pun kami sudah sampai. Saat di tengah-tengah
perjalanan sebenarnya hujan namun untungnya saat sampai di Terminal Ciboleger
sudah reda. Jadinya saya pun aman karena tidak membawa jas hujan dan juga payung
(hihihi jangan dituru ya, pokoknya kalian yang mau ke Baduy harus siap-sedia
semuanya).
Sesampainya di Terminal
Ciboleger saya dan kawan pun diantar langsung oleh Kang Mista ke rumahnya,
tepatnya di Desa Kaduketug 3. Di sana kami langsung disambut dengan anak
terkecil Kang Mista bernama Anita yang masih berumur dua tahun. Anita adalah
gadis kecil yang cantik dan sangat lucu. Mendapati wanita cantik di Baduy
mungkin bukan hal yang asing lagi ketika kami menyusuri kampung di Baduy.
Setiap melewati rumah, kami mendapati gadis-gadis cantik yang sedang menenun
kain khas Baduy.
|
Kang Mista dan anaknya Anita
|
Di rumah panggung Kang
Mista kami langsung disuguhi makan yang dimasak langsung oleh istri Kang Mista
yaitu Ibu Enok. Saat itu kami makan dengan pindang asin (atau apa saya kurang
tahu), tempe, lalab-lalaban, sambal, dan beberapa menu lainnya yang langsung
mengingatkan saya ke kampung halaman. Di mana makanan-makanan itu seakan
melemparkan saya ke masa lalu saat masih rutin makan makanan khas Sunda di
tengah-tengah sawah sambil ditemani musik gamelan lewat radio.
Seusai makan, kami pun
mulai mengobrol. Saya dan kawan banyak bertanya mengenai kebudayaan Baduy dan
aktivitas masyarakat di sana sambil ditemani kopi dan hujan yang menyapa. Di
Baduy sendiri mata pencaharian utama masyarakatnya yaitu bertani dan menenun.
Kang Mista dan istri pun turut menjual kain tenunan dengan harga mulai dari
puluhan ribu hingga ratusan ribu. Mereka pun menjual hasil alam seperti madu.
Mereka sudah menjual hingga ke luar pulau seperti ke Toraja.
Di rumah, Kang Mista
tinggal bersama istri dan dua anaknya yaitu Anita dan Baénudin. Seperti kampung
adat pada umumnya, di Baduy pun tidak memperbolehkan listrik masuk ke dalam
rumah. Jadi, kami pun saat bermalam di sana hidup tanpa listrik. Namun
sebenarnya pada saat ini sudah banyak masyarakat (khususnya Baduy Luar) yang
mempunyai gadget masing-masing untuk keperluan menjual kain tenunan, madu, dan
hasil alam lainnya secara online
melalui WA termasuk Kang Mista yang rutin menjual kain tenunan, kopi Baduy, dan
souvenir lainnya secara online. Tetapi
jika ingin mencharger hape, maka Kang Mista harus mencharger ke bawah yaitu ke
Terminal Ciboleger dengan tarif dua ribu rupiah per hari.
Malam itu kebetulan di
samping rumah Kang Mista beberapa anak di sana sedang belajar gamelan. Semakin
malam, masyarakat lain pun mulai berkumpul di rumah tersebut untuk ikut
meramaikan suasana. Saat itu, para wanita belajar untuk bernyanyi seperti nyindén.
Kegiatan itu berlangsung sampai jam 11 malam lebih. Bagi saya musik gamelan
tersebut merupakan penghantar tidur. Seusai kegiatan itu selesai, masyarakat
mulai bubar dan beberapa masih stay untuk
sekadar mengobrol tentang apa pun yang mana saya tidak mengerti semua obrolan
yang dibahas karena Bahasa Sunda khas Baduy yang kurang saya mengerti.
Keesokan harinya Kang
Mista mengantar kami untuk menuju Desa Gajebo yang merupakan salah satu tujuan
destinasi kami. Sebelum menuju ke sana, kami pun menyantap terlebih dahulu
gorengan ditemani kopi dan juga rebus pisang. Setelah itu, barulah kami
berangkat sekitar pukul 7 pagi. Butuh kurang lebih satu jam dari rumah Kang
Mista menuju Desa Gajebo. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan
pepohonan yang indah namun perjalanannya cukup melelahkan karena melewati
tanjakan dan turunan. Kami pun melewati sekitar 3 desa dan seperti biasa di
setiap rumah selalu ada gadis-gadis dan ibu-ibu Baduy sedang menenun. Ada juga
anak-anak balita yang sedang bermain permainan tradisional.
|
Jembatan Gajebo beserta sang model
|
Sesampainya di Desa
Gajebo, kami langsung disuguhi pemandangan yang sangat indah yaitu sesuatu yang
sebelumnya hanya bisa saya lihat di Youtube. Akhirnya saya dapat melihat
langsung jembatan Gajebo yang dibawahnya melintang Sungai Ciujung yang
berdasarkan penuturan Kang Mista sungai tersebut mengalir hingga ke Serang,
Banten. Kami pun menghabisi waktu di Gajebo untuk mengambil foto.
Setelah puas menikmati
keindahan di Desa Gajebo, kami pun memutuskan untuk kembali ke rumah Kang
Mista. Di sana kami langsung disuguhi sarapan dengan telur, mi goreng, ikan
asin, sambal, dan lalaban. Rasanya nikmat sekali sarapan ditemani udara segar
dan berdampingan dengan alam yang masih asri. Setelah itu kami pun beristirahat
sejenak untuk kemudian mengepakan barang bawaan karena hari itu kami akan
pulang kembali ke Sukabumi. Sebelum itu, kami pun bermain dahulu dengan Anita
yang sangat lucu. Dia selalu tersenyum dan malu-malu ketika diajak berfoto.
|
Santapan pagi hari yang nikmat
|
Hari itu kami akan
pulang bersama Kang Mista, istri, dan Anita. Kebetulan hari itu Anita akan
berobat ke dokter karena sakit batuk. Anita pun menyombongkan diri ke
tetangga-tetangga lainnya bahwa ia akan jalan-jalan ke Rangkasbitung naik
mobil. Kira-kira seperti ini, “Yeee Nita
arék jalan-jalan ka Rangkasbitung naéek mobil,” dan ketika ada tetangga
yang iseng bertanya boleh ikut atau tidak maka Anita langsung menjawab tidak
boleh ikut. Gemas sekali.
Sekitar pukul setengah
sebelas siang kami pun berangkat dari rumah Kang Mista menuju Terminal
Ciboleger. Sesampainya di Terminal Ciboleger, saya pun menyempatkan mengambil
foto di depan tugu Baduy. Sementara itu Kang Mista menuju kantor JNE karena
akan mengirim madu ke pelanggannya. Baru pada pukul setengah dua belas siang
kami berangkat menggunakan Elf, saya menuju Terminal Mandala dan Kang Mista,
istri, bersama Anita turun di klinik anak. Sepanjang perjalanan, Anita tertidur
dipangkuan ayahnya. Sebelum pulang, saya dan kawan pun tidak lupa untuk
menyisikan sedikit rezeki untuk keluarga Kang Mista terutama untuk Anita yang
sedang sakit. Keluarga Kang Mista sudah sangat baik dan welcome kepada kami menampung untuk tidur, makan, berkeliling
Baduy, dan belajar banyak hal lainnya. Tidak enak rasanya bila kami tidak
memberikan rezeki. Saya pun sempat membeli gelang kayu dan ikat kepala pada
Kang Mista. Dan sudah sepatutnya jika kalian yang bermalam di Baduy di salah
satu rumah warga sebelum pulang untuk menyisikan uang secukupnya sebagai tanda
terima kasih.
Perjalanan pun kami
lanjut dari Terminal Mandala menuju Bogor untuk kemudian ke Sukabumi. Kami
pulang di hari Sabtu yang mana masih suasana lebaran. Jalanan pun sangat macet
di mana banyak wisatawan yang menuju Palabuhan Ratu. Saya baru sampai rumah
sekitar jam 9 malam.
Untuk kalian yang ingin
jalan-jalan ke Baduy dan berniat untuk bermalam di sana, kalian bisa mengontak
saya di email (doerfrans@gmail.com) untuk saya kirim kontak Kang Mista agar bisa
bermalam di sana karena kalau tidak ada kenalan di Baduy akan dimanfaatkan oleh
calo di sana. Selamat menikmati dan belajar budaya Indonesia.
Sampai jumpa di
ekspedisi selanjutnya! Salam Ekspedisi Budaya!