Assalamualaikum kawan,
sekarang saya mau berbagi sedikit (serius ini mah) tentang perbedaan antara
cerpen dan novel yang dikutip dari Buku “Berkenalan dengan Prosa Fiksi” oleh
Dr. Suminto A. Sayuti
Sebelum dibicarakan
elemen-elemen yang membangun profasa fiksi secara struktural, terlebih dahulu
akan diperkenalkan beberapa hal yang berkaitan dengan pembedaan jenis prosa
fiksi, yang biasanya secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu cerita pendek
(cerpen) dan novel.
Plot, tokoh, latar, dan
lain-lainnya merupakan elemen yang biasanya membentuk kedua jenis karya prosa
fiksi itu. Akan tetapi, pengalaman
pembaca dan aprersiator cerpen dapat berbeda dalam beberapa hal jika
dibandingkan dengan pengalamannya tatkalaberhadapan dengan novel. Oleh karena
itu, pada bagian ini akan dibicarakan beberapa perbedaan antara subgenre itu
secara garis besar.
Ditinjau dari segi
“panjangnya”, cerpen relatif lebih pendek daripada novel, walaupun ada pula
cerpen yang panjang dan novel yang pendek. Secara lebih spesifik, istilah
cerpen biasanya diterapkan pada prosa fiksi yang panjangnya antara seribu
sampai lima ribu kata, sedangkan novel umumnya berisi empat puluh lima ribu
kata atau lebih. Prosa fiksi yang berkisar antara lima belas biru hingga empat
puluh lima ribu biasanya disebut novela atau novelet.
Pertimbangan dari segi
panjang cerita tersebut pada dasarnya terlampau bersifat teknis dan mekanis,
tetapi beberapa kualitas penting kedua subgenre prosa fiksi tersebut memang
berkaitan erat dengan panjang pendeknya.
Cerpen
Sebuah cerpen bukanlah
sebuah novel yang dipendekkan dan juga bukan bagian dari novel yang belum
dituliskan. Sangat boleh jadi bahwa karya yang semula diterbitkan sebagai
cerpen, akhirnya diolah kembali dan diterbitkan sebagai novel, atau bagian dari
novel tertentu, atau dijadikan dasar penulisan skenario sinetron dan film.
Dalam hal ini Pagar Kawat Berduri karya
Trisnoyuwono dapat dijadikan contoh kasus. Akan tetapi, hal itu tentu
melibatkan penulisan kembali atau revisi yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Penjang pendeknya sebuah cerpen yang bagus
merupakan bagian dari pengalaman cerita itu yang paling esensial.
Ada yang mengatakan
bahwa cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali
duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca.
Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diperoleh dalam sebuah cerpen
dalam sekali baca. Akan tetapi, bagaimanakah cerpen dapat memberikan efek atau
kesan yang tunggal itu?
Sebuah cerpen biasanya
memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal. Sebuah cerpen
biasanya didasarkan pada insiden tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Misalnya saja dalam Bawuk, sebuah cerpen panjang karya Umar
Kayam, tampak pada keputusan Bawuk menitipkan anak-anaknya pada Nyonya Suryo
dan dia (tokoh Bawuk sendiri) tetap akan mencari dan mengikuti suaminya, Hasan,
yang komunis (selanjutnya lihat Bab Penutup : contoh tulisan yang dihasilkan
dari proses “berkenalan” secara suntuk dengan sebuah cerpen).
Di samping hal tersebut,
kualitas watak tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh karena
pengembangan semacam itu membutuhkan waktu, sementara pengarang sendiri sering
kurang memiliki kesempatan untuk itu. Tokoh dalam cerpen biasanya langsung
ditunjukkan karakternya. Artinya, hanya ditunjukkan tahapan tertentu
perkembangan karakter tokohnya. Karakter dalam cerpen lebih merupakan
“penunjukan” daripada hasil “pengembangan”. Selanjutnya, dimensi waktu dalam
cerpen juga cenderung terbatas walaupun dijumpai pula cerpen-cerpen yang
menunjukkan dimensi waktu yang relatif luas.
Ringkasnya, cerpen
menunjukkan kualitas yang bersifat compression
‘pemadatan’, concentration ‘pemusatan’,
dan intensity ‘pendalaman’, yang
semuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang
diisyaratkan oleh panjang cerita itu.
Novel
Hampir berkebalikan
dengan cerpen yang bersifat memadatkan, novel cenderung bersifat expands “meluas”. Jika cerpen lebih
mengutamakan itensitas, novel yang baik cenderung menitikberatkan munculnya complexity “kompleksitas”.
Sebuah
novel jelas tidak akan dapat selesai dibaca dalam sekali duduk. Karena
panjangnya, sebuah novel secara khusus memiliki peluang yang cukup untuk
mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah perjalanan waktu, kronologi, dan
hal ini tidak mungkin dilakukan pengarang dalam dan melalui cerpen. Adalah
sangat mungkin bagi Ahmad Tohari untuk mengembangkan tokoh Srintil dan Rasus
dalam Ronggeng Dukuh Paruk dalam
suatu perjlanan waktu tertentu. Hal yang sama tidak mungkin dilakukannya dalam
karya cerpennya, Jasa-jasa Buat Sanwirya.
Jadi, salah satu efek perjalanan waktu dalam novel ialah pengembangan
karakter tokoh. Novel memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan itu,
misalnya yang sering menjadi kesukaan pengarang novel pertumbuhan tokoh sejak
anak-anak hingga dewasa, bahkan seringkali dalam novel tradisional, hinnga
akhir hayatnya.
Novel
juga memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai tempat (ruang)
tertentu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika posisi manusia dalam
masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menarik perhatian para
novelis. Masyarakat memiliki dimensi ruang dan waktu. Sebuah masyarakat jelas
berhubungan dengan dimensi tempat, tetapi peranan seseorang (baca:tokoh) dalam
masyarakat berubah dan berkembang dalam waktu. Karena panjangnya, novel
memungkinkan untuk itu.
Akhirnya, jika umumnya
cerpen mencapai keutuhan (unity)
secara eksklusi (exclusion), artinya
cerpenis membiarkan hal-hal yang dianggap tidak esensial; novel mencapai
keutuhannya secara inklusi (inclusion),
yakni bahwa novelis mengukuhkan keseluruhannya dengan kendali tema karyanya.
Dalam kaitan ini, harus dicatat bahwa berbagai hal yang sudah dikemukakan
tersebut cenderung dapat dijumpai pada fiksi konvensional.
Sumber : (BERKENALAN
dengan PROSA FIKSI karya Dr. Suminto A. Sayuti ; Hal.7-11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar