https://www.histats.com/viewstats/?act=1&operation=1002&u=1993123xc1bd05b8b

Minggu, 23 Mei 2021

Ekspedisi Kasepuhan Ciptagelar

 

Pada 25 April 2021 yang lalu bertepatan di bulan Ramadhan, saya dan kawan menyempatkan untuk berkunjung ke kampung adat Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Desa Sirnaresmi, Cisolok Sukabumi tepatnya di bawah kaki Gunung Halimun.

Kami berangkat dari Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi sekitar pukul 8 pagi menggunakan sepeda motor. Tidak afdal jika orang Sukabumi asli tidak mengunjungi kampung adatnya sendiri. Jam setengah 9 kami sudah sampai di Palabuhan Ratu. Mata kami dimanjakan oleh bentangan lautan biru. Namun tujuan utama kami bukan untuk berlibur di pantai, namun ingin belajar budaya di Kasepuhan Ciptagelar.

Beberapa menit setelah berada di Palabuhan Ratu, kami pun mendapati plang yang bertuliskan menuju Kasepuhan Ciptagelar. Tadinya kami ingin menggunakan Google Maps, namun saat ada plang itu dan dalam Google Maps tidak menunjukan arah itu, kami pun memutuskan untuk berbelok menuju plang tersebut.

Di perjalanan, untuk memastikan, kami pun sambil bertanya kepada warga setempat. Ternyata memang benar jalan kami sudah sesuai. Kami pun sampai di gardu yang bertuliskan Taman Nasional Gunung Halimun. Jalannya berbatu semua yang sangat menyulitkan perjalanan di mana kendaraan yang kami gunakan bukanlah tipe motor yang cocok untuk jalanan seperti itu.

Taman Nasional Gunung Halimun

Akhirnya kami sampai di Cipta Rasa (tempat transit sebelum menuju Kasepuhan Ciptagelar) sebelum dzuhur. Kami pun disambut oleh salah seorang warga yang memakai ikat kepala. Kami pun berbincang-bincang terlebih dahulu dan bertanya mengenai pantangan-pantangan di Kasepuhan Ciptagelar. Sebenarnya akang yang saya lupa namanya itu berkata pada kami bahwa di Ciptarasa pun hampir sama dengan keadaan di Kasepuhan Ciptagelar. Namun karena tinggal selangkah lagi kami menuju ke sana, kami pun tidak akan berhenti di situ saja. Meskipun jalannya terjal sepanjang 9 km, kami tetap memutuskan melanjutkan perjalanan.

Ciptarasa

Meskipun hanya 9 km, namun jalannya sangatlah menyulitkan. Tanjakan dan turunan sangat curam. Karena kami satu motor berdua, kami pun bergantian mengendarai motor karena jikalau berdua sangat sulit. Beberapa kali hampir saja jatuh ke jurang. Kawan saya tadinya sempat ingin menyerah kembali lagi. Namun saya meyakinkannya bahwa perjalanan tinggal sebentar lagi. Dan akhirnya sekitar jam 1 siang kami pun tiba di Imah Gede yang berarti kami sudah sampai di Kasepuhan Ciptagelar.

Imah Gede sebagai dapur besar tempat berkumpul ibu-ibu untuk acara ritual adat padi

Di sana sudah ada satpam dan kami pun meminta izin untuk menelusuri Kasepuhan Ciptagelar. Satpam pun mengizinkan kami. Namun sayangnya kami tidak sempat bertemu dengan ketua adat yang sering dikenal dengan Abah Ugi. Entah mengapa meskipun ada kesempatan namun kami tidak sempat menuju rumahnya.

Kebetulan di sana malamnya akan ada acara ritual malam bulan 14 purnama. Para wanita sedang menumbuk padi dan beberapa sedang mengambil garam yang dibuat secara alami. Warga di sana seakan sangat senang ketika mendapatkan garam tersebut seperti sesuatu yang sangat mewah. Namun begitulah uniknya kampung adat. Semua dilakukan secara gotong royong dan satu rumah dengan rumah lainnya sudah seperti kelurga. Meskipun tidak saling mengenal, namun warga di sana bisa saja masuk ke rumah warga lainnya tanpa harus izin terlebih dahulu.

Saya dan kawan pun mengabadikan pemandangan yang indah di sana. Mulai dari leuit (tempat menyimpan padi), lumbung padi, rumah-rumah adat, dan pemandangan indah lainnya. Di sana pun terdapat sekolah yang seperti bangunan adat lainnya atapnya menggunakan jerami.

Potret perkampungan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar

Hampir semua wanita di sana kesehariannya menggunakan kebaya. Saya seakan terlempar ke masa lalu, terlempar di masa-masa penjajahan yang hanya bisa saya lihat di buku sejarah. Di Kasepuhan Ciptagelar sendiri, panen padi hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun. Meskipun begitu stok berasnya dalam sekali panen bisa tersedia sampai 3 tahun. Dan stok beras yang ada dalam leuit bisa cukup hingga 80 tahun ke depan.

Setelah puas menelusuri keindahan kampung adat Kasepuhan Ciptagelar, kami pun memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Kami tidak sempat untuk menginap karena sebenarnya kami tidak melakukan persiapan yang matang tidak membawa perbekalan. Jadi, sebelum pukul 3 sore kami pun memutuskan untuk meninggalkan Kasepuhan Ciptagelar. Meskipun jalannya sangat sulit untuk ditempuh, saya berkeinginan untuk menuju Kasepuhan Ciptagelar di waktu yang lain.

Istirahat di sela-sela lelahnya perjalanan

 

Sampai jumpa di ekspedisi selanjutnya! Salam Ekspedisi Budaya!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar