Sumber gambar : Unsplash |
Bus sudah
menjadi kendaraan wajib bagi para pelancong atau perantau yang tidak
menggunakan kendaraan pribadi. Perjalanan menggunakan bus akan selalu
menyenangkan sembari melihat pemandangan indah dari balik jendela bus. Mulai
dari hiruk-pikuk masyarakat, areal persawahan sepanjang jalan tol, maupun
pemandangan baru di kota tujuan. Dengan ongkos yang cukup terjangkau, kita bisa
pergi ke tempat baru dengan mudah.
Di dalam dunia
perbus-an, tentunya ada banyak tipe bus. Ada bus ekonomi, bisnis, eksekutif,
sampai bus super eksekutif. Tentunya harganya pun berbeda-beda sesuai dengan
tipenya. Bus ekonomi juga sebenarnya ada tipenya, ada yang dilengkapi dengan AC
adapula bus ekonomi dengan angin sepoy-sepoy alias angin dari jendela (tidak
ber-AC). Saya sendiri biasanya selalu naik bus ekonomi yang ber-AC karena
lumayan nyaman dan jarang ada pengamen. Namun kalau lagi mau hemat atau
buru-buru, biasanya saya pakai yang ekonomi non-AC.
Tapi pernah
nggak sih kita memperhatikan dengan khidmat mengenai kehidupan yang ada di
dalam bus ekonomi? Maksudnya kita peka terhadap keadaan sekitar, entah itu si
penumpang, kondektur, supir, pengamen, sampai penjual makanan asongan. Pernah
nggak sih kita belajar dari hal tersebut untuk sekadar mengucap syukur?
Mungkin
setidaknya saya sedikit bisa belajar dari pengalaman saya ketika bepergian
menggunakan bus ekonomi. Saya di sini ingin berbagi apa yang saya rasakan agar
kita bisa sama-sama belajar dalam menghargai hidup dari hal sekecil apa pun.
1. Belajar tabah dari penjual makanan asongan
Saya kalau akan
berangkat merantau ke kota untuk berkuliah, biasanya langsung menuju terminal
kota. Ketika sudah sampai, saya pun langsung menaiki bus yang sudah siap
berangkat. Seperti biasa, sebelum bus berangkat selalu saja ada penjual makanan
ringan atau sekadar gorengan untuk mengganjal perut si penumpang.
Kebanyakan dari
mereka sudah lanjut usia, bahkan ada juga dari mereka beberapa yang perempuan.
Mereka menawarkan dagangannya dengan semangat dan tidak lelah menawarkan dari
bangku pertama hingga terakhir. Jika dagangannya cukup laku, biasanya si
penjual ini akan memberi reward pada sang sopir sebagai ucapan terima kasihnya
karena telah mengizinkannya berjualan.
Namun jika tidak
laku, mereka akan berpindah ke bus lain. Dan sesekali saya selalu melihat raut
wajah mereka yang cukup kecewa ketika tidak ada yang membeli, namun mereka
tetap tabah dan melanjutkan perjuangannya. Anak dan istri sedang menanti di
rumah, dagangan mereka harus habis. Debu jalanan tidak menghentikan semangat mereka.
2. Belajar menikmati dan menghargai seni dari sang
pengamen
Pengamen di
dalam bus mungkin sudah tidak asing lagi. Mulai dari bapak-bapak, dewasa,
remaja, sampai anak kecil yang dengan riangnya membawakan lagu. Ada yang beregu,
duet, sampai solo alias sendiri. Ada yang bermodalkan gitar, ukulele, atau
hanya sekadar tepukan tangan.
Mungkin tidak
semua pengamen lihai dalam bernyanyi dan bermain musik, namun setidaknya mereka
jauh lebih baik daripada orang yang tukang minta-minta di jalanan. Hanya dengan
uang recehan saja mereka bisa senang, apalagi kalau ribuan mereka akan jauh
lebih merasa dihormati.
Saya pun sering
menikmati lagu-lagu yang dibawakan para pengamen, apalagi kini sudah menjamur
para pemuda pengamen bus yang kualitasnya tidak bisa dianggap sebelah mata.
Kalau ada pengamen yang menyanyikan lagu Iwan Fals, auto saya kasih bonus
berlebih deh buat mereka. Tapi apa pun lagunya, sebisa mungkin kita apresiasi
usaha mereka dengan mengasih rezeki berlebih. Kalau pun tidak, berusaha
bersikap sopan lah pada mereka, jangan asyik bermain handphone sambil mata
terpaku pada layar. Sebab pengamen juga
manusia.
3. Memperhatikan penumpang lain
Ketika sedang
berada di dalam bus, biasanya saya selalu memperhatikan para penumpang lainnya,
siapa tahu ada yang kenal kan. Mulai dari penumpang yang baru pulang kampung
dengan membawa kardus andalan, penumpang yang baru pulang kerja dengan muka
lusuhnya, penumpang yang hendak pulang setelah menuntut ilmu, sampai penumpang
yang membawa buah hati dan kekasih sehidup sematinya.
Pernah seketika
saya mendapati kejadian yang cukup menyentuh ketika seorang ibu dan anak yang
tidak mempunyai ongkos. Sebelumnya dia diturunkan oleh bus yang lain karena hal
serupa. Dan kini ia terancam diusir kembali sebelum salah seorang membelanya.
Saya dan mungkin sebagian yang lain mungkin menganggap penumpang ini hanyalah
tukang penipu yang ingin gratisan dengan tampilan ala kadarnya. Namun apa pun
itu semua, setidaknya kita harus peka terhadap keadaan sekitar.
Dia mungkin
berlaku seperti itu karena menjalani hidup yang keras penuh beban. Tidak ada
yang mengasihaninya untuk sekedar berlindung pada orang lain. Terkadang kita
mungkin selalu dipenuhi dengan prasangka buruk karena hanya menganggap diri
kita ini lebih baik.
4. Mendengarkan percakapan antara sang sopir dengan
keluarga di rumah
Mungkin tidak
semua penumpang bisa melakukan ini semua. Hanya penumpang yang berada di bangku
depan-depan saja yang bisa mendengarkan celotehan si supir dengan kondekturnya
atau dengan orang terkasih melalui hape bututnya. Eh tapi sekarang para supir
bus hapenya udah pada canggih sih, saya aja kalah.
Meskipun
menelepon sambil mengemudi adalah hal yang salah, tapi setidaknya saya bisa
sesekali mendengar percakapan sang sopir dengan keluarganya. Beberapa waktu
yang lalu sebelum pandemi ini menyerang, saya pernah mendengarkan percakapan
antara sang sopir dengan anak dan istrinya di rumah.
Kebetulan saat
itu saya duduk di bangku paling depan belakang sopir. Di situ doi terlihat amat
senang ditelepon oleh istrinya, dan anaknya pun menyahut. Sang anak meminta
pada sang ayah dibelikan sepeda karena teman-temannya memiliki sepeda. Si sopir
pun mengiyakan permintaan anaknya tersebut, kata doi nanti kalau sudah ada uangnya pasti dibelikan. Doi pun mengganti
topik dengan menanyakan anaknya sudah makan atau belum.
Sederhana namun
sangat menyentuh. Entah hanya saya saja yang mendengarkan atau penumpang di
sebelah saya pun mendengarkan juga. Di situ saya bisa belajar mengenai arti
hidup yang lebih luas. Rasa syukur itu harus selalu kita panjatkan setiap saat.
Apa pun yang terjadi.
Belajar mengenai arti hidup itu tidak mesti harus melalui kehidupan diri sendiri, belajar hidup itu bisa dari mana saja, termasuk belajar arti hidup dari kehidupan orang lain—sekali pun itu melalui bus ekonomi. Terkadang lingkungan sekitar kita yang sering kita abaikan mampu memberikan pelajaran yang amat berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar